Fikih jangan dibuat kaku


Karena keinginan yang terus terpancar dalam mengembangkan diri, sehingga mampu mengikuti perkembangan jaman, maka kami bertiga (saya, istri dan anak pertama) hari Jumat ini, berkunjung ke kampus pertama kami, yaitu kampus ITB. Kampus yang menjadi idaman setiap anak SMA di negeri ini untuk mengenyam pendidikan yang terbaik. Sebuah kampus yang seringkali menjadi rujukan nasional. Kampus yang didirikan sebelum Indonesia merdeka dengan pusat di Jakarta, saat itu.

Kunjungan ini bermakna untuk mengikuti salah satu tahap menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Yaitu: mengikuti tes bahasa Inggris yang telah disediakan oleh Laboratorium Bahasa ITB.

Selain itu, kami juga mengurus keperluan yang lainnya, yaitu: mengambil transkrip akademik S2 yang belum sempat diambil ketika selesai kuliah dahulu. Urusan yang harus diselesaikan sebelum urusan terakhir di kampus ini, yaitu: tes bahasa Inggris.

Karena waktu yang tak terasa mepet juga, maka saya mengikuti sholat Jumat dan Khotbah Jumat, 30 Oktober 2015, di Masjid Salman ITB. Sebuah masjid yang menjadi tempat yang ingin saya tuju pertama kali ketika hadir di Bandung.

Fikih jangan dibuat kaku
Fikih jangan dibuat kaku
masjid salman_malam
Masjid Salman menjelang petang

Waktu yang begitu awal, masuk masjid ini masih terasa kosong, namun tak bersentuh 30 menit, masjid segera penuh. Dan adzan pun dikumandangkan. Khotbah dimulai.

Keinginan untuk membuat persatuan ummat Islam di Indonesia tengah membuncah pada diriku. Ummat Islam sudah cukup lama, bahkan berabad-abad lamanya selalu diupayakan untuk terpecah belah, bahkan hingga saat ini. Sang khotib pun mengungkapkannya. “Fikih jangan dibuat kaku”! Kalimat ini bagiku sangat mengena. Dahulu, awal aku mulai mengenal Islam, begitu banyak orang mempertentangkan Usholi harus dibaca atau tidak, jahr atau sir. Kemudian ada pula yang ribut antara baca doa qunut atau tidak harus. Begitupun ada pula telunjuk jari bergerak atau diam.

Terus saja permasalahan yang demikian ini mengemuka. Saat ini sudah mulai reda. Maka berhati-hatilah jika membicarakan fikih. Sang khotib memberi contoh. Jika di sini (Indonesia), kebanyakan orang sholat dengan bersedakep, ada yang di tengah, ada yang di pinggir. Jika anda datang ke daerah Rusia sana, maka kebanyakan mereka sholat dengan tangan lurus ke bawah. Padahal daerah Rusia itu terdapat tokoh-tokoh besar ahli fikih antara lain: seorang yang menjadi syarat Soekarno berkenan berkunjung ke Rusia.

Begitulah, maka janganlah terlalu kaku dengan fikih. Fikih lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi setempat, bukan sebuah acuan utama.

Selamat berupaya membangun persatuan ummat Islam.

 


Leave a Reply