Raih Prestasi Dunia Akhirat


Proses yang cukup lama, mulai dari pergaulan, membuka wawasan dan pertemanan, berani untuk kontak dengan yang lain, dst. Maka tulisan yang aku tulis tahun 2010, mulai menampakkan bentuknya. Keinginan untuk mempergaulkan dalam tata kehidupan normal (bukan difabel) membutuhkan waktu yang cukup lama.

Ketika mau masuk SMP, istriku ingin terus terang kepada Kepala Sekolah calon SMP yang ingin ditujunya. Karena itu, saya berdua istri menyengaja menyampaikan kondisi anak kami kepada Kepala Sekolah saat itu. Mungkin beliau belum mempunyai pengalaman menerima siswa dalam kondisi yang demikian ini (kurang pendengaran, dengan kemampuan dengar 100DB dan 80DB), sehingga beliau lebih cenderung untuk tidak menerimanya. Beliau memberikan saran yang lebih masuk akal, memasukkan ke sekolah yang memang ada program untuk dua kondisi. Setelah bertemu Kepala Sekolah ini, kemudian kami mengunjungi sekolah yang memang menyelenggarakan sistem dua kondisi tersebut (sekolah Inklusi), namun biaya yang amat besar (saat itu kami memandang biayanya sangat besar), dan telah pula mengupayakan untuk mendapatkan keringanan (tetapi tak berhasil, karena bapaknya bekerja di tempat kerja yang banyak kalangan menyatakan perusahaan yang kaya raya, padahal hanya bekerja di Yayasan yang didirikan oleh perusahaan yang kaya raya tersebut). Itulah sebabnya kami tidak menyanggupi untuk masuk ke sekolah tersebut.

Ide lain pun muncul, di sekolah yang bebas (sekolah terbuka), karena mereka tidak membatasi pada ruang kelas. Setelah survei dan mendapatkan informasi yang mencukupi, kami pun membuat keputusan tidak memasukkan ke sekolah yang demikian, selain lokasinya yang amat jauh, juga belum mengetahui kualitasnya.

Diantara kesibukan yang kemudian begitu mendera, maka tidak ada pilihan bagi saya, dan melihat prestasi akademik yang tertulis, (rata-rata UAN SD di atas 9…), tidak berlama-lama lagi, saya mendaftarkan ke sekolah yang saat itu Kepalas Sekolahnya memberikan saran ke tempat lain. Toh, saya yakin seleksi yang dilakukan adalah hanya berdasarkan pada nilai UAN, bukan kondisi fisik anak. Kondisi fisik anak tidak akan menjadi bagian seleksi. Dan diterima.

Awal sekolah di SMP menjadi perhatian khusus kami, namun toh prestasi akademiknya tidaklah jelek. Biasanya ulangan Matematika mendekati angka 100, apa disebut jelek prestasi ini? Guru wali yang telah mengetahui kondisi fisiknya pun cukup kagum juga, dapat ranking 7 ! Inilah yang kami inginkan, wahai anakku raih prestasti dunia akhirat. Jangan melenceng dari keinginan ini.

Aktifitas ekstra kurikuler yang cukup banyak, memberikan pula bentuk pendidikan lain bagi dirinya. Yang menonjol tentu adalah Pencak Silat Tajimalela. Dia mampu meraih juara satu (medali emas) sekalipun karena alamat menyebabkan bukan dia yang mendapatkannya tetapi nama lainnya. Ada beberapa video yang dapat dilihat tentang hal ini.

1. Babak penyisihan

2. Video yang lainnya

Saat latihan menjelang pertandingan Pencak Silat inilah, kami sering ke GOR Pajajaran, di sanalah kami melihat adanya NPCI (National Paralympic Commitee of Indonesia), mendorong kami untuk menghubungi dan mengenalnya. Dan dengan dibantu pula oleh guru private-nya. Maka perkenalan ini semakin mengakrabkan. Dan jadilah, tanggal 7 – 12 Oktober 2013, anakku Ilmi Diena Aliya bertanding untuk mewakili Jawa Barat dalam Pekan Paralympic Pelajar Nasional (Peparpenas) di Jakarta untuk cabang Bulutangkis.

Raih prestasi dunia akhirat melalui Peparpenas
raih prestasi dunia akhirat

Ingat, anakku Ilmi Diena Aliya, raihlah prestasi dunia akhirat, jangan dilepaskan. Ayo raih prestasi tersebut.


Leave a Reply